Berharap ‘Gocap’ di Jakarta Kala Itu
Kenapa memilih mie ayam saat itu?
Jawabannya cepat, “Abis saya mau jualan apaan? hahaha! dari muda emang saya niatnya mau usaha, jualan, apaan aja gimana entar,” lontar pria yang baru saja selesai operasi kataraknya.
“Terus gimana mang, kok bisa jadi canggih gini rasa mienya?,” saya cecar, berharap ia menjawab tidak lagi setengah bercanda.
Mang ujang hanya terkekeh, giginya jelas nampak tiada, ompong.
“Karena jaman telah berubah dan ia harus mengubahnya.”
Dulu dari mulut ke mulut, dibarengi dorongan gerobaknya. Diiringi sapaan Mang Ujang kepada orang-orang yang dihampirinya.
Jaman berubah, Mang Ujang tidak paham bagaimana saat ini harus berperan lebih.
Online sebagai kewajiban, atau ia sulit bertahan.
Terus, bagaimana Mang Ujang memulai awalannya ia berdagang?
“Saya samperin tuh temen yang punya kontrakan, saya palakkin!, eh pinjem modal dong, gue mau jualan mie ayam, butuh dana buat gerobak nih!,” ucapnya berbarengan hembusan rokok beraroma filter.
“Saya berangkat pagi jam 6 nenteng gerobak yang saya titip di depan kontrakan diye. Cideng ngider aje, jam satu-an siang baru rute Menteng, Kuningan,” jelasnya.
Dalam dua bulan pertama, sehari habis sekitar lima kiloan adonan mie, bahkan di bulan kelima cuma naik hingga tujuh kilo.
Kala itu semangkok dijualnya dengan harga ‘gocap’, lima puluh perak rupiah.
Barulah angin segar mulai berhembus, mau satu tahun ia dagang keliling mengarungi ibukota, yang tadinya sekitar lima — tujuh kilo, mulai naik ke angka sepuluh sampai lima belas kilo!
Apa rahasia dapur Mang Ujang bisa secanggih ini rasanya?
“Asal ulet ama jangan nyerah, terus ilmu raciknye dalemin, pasti entar ada jalannye,” pesannya.
Ditambahkannya tentang garansi halal tidaknya mie racikannya, ia membara, “….sori yah, dari awal dagang, Insya Allah mie saya dijamin halal seratus persen! kan saya Islam, moral dong.”
Tiga hal dalam perjalanan Mie Karet Mang Ujang
Ada alasan rasional dan sisi emosional ketika saya yakin dan mencoba berkolaborasi dengan si Mang Ujang.
Batasan antara enak karena nikmat dan kualitas rasa, dengan sekedar merk yang popular seringkali bias.
Tapi saya ngeh banget sejak pertama kali cicipi racikannya di tahun 2009, “Ini mie emang ajibbbb!!!.”
Intinya, yang saya ambil dari kisah Mang Ujang:
Pertama — Semua dimulai ketika diri kita mau dan laksanakan.
Kedua — Tidak ada shortcut untuk hal yang berkualitas untuk bertahan bertahun-tahun.
Ketiga — Jangan menyerah, apalagi sekedar malu untuk memulai usaha.
Kejujuran dan kerendahan hatinya dalam berbagi resep membuatnya semakin ‘hangat’.
Dari berjualan mie ayam sejak tahun itu, Mang Ujang menghadiahi keenam anaknya masing-masing sebidang tanah di kampungnya, Kuningan.
Sebagai bekal mereka ketika ia tidak lagi bersama mereka.